Berita/Artikel

Expert Meeting dan Inisiasi Kelembagaan IBI

Yogyakarta, 7-8 Januari 2025 – Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI), dan WWF Indonesia berhasil menyelenggarakan kegiatan Expert Meeting dan Inisiasi Kelembagaan Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) di Hotel Harper Malioboro, Yogyakarta. Pertemuan ini menjadi momen penting dalam upaya memperkuat pengelolaan biodiversitas Indonesia melalui pembentukan kelembagaan yang independen, efektif, dan kolaboratif. Kegiatan ini dihadiri oleh para pakar biodiversitas, perwakilan akademisi, dan berbagai lembaga. Selama dua hari, para peserta berdiskusi intensif untuk mengeksplorasi isu terkini terkait status keanekaragaman hayati di Indonesia serta merumuskan langkah strategis dalam pembentukan kelembagaan Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI). 

Pada hari pertama, acara diawali sambutan oleh Direktur Forest Wildlife WWF Indonesia yang diwakili oleh Oki Hadian Hadadi, M.Sc. Dalam sambutannya, Oki Hadian Hadadi, M.Sc menekankan pentingnya sinergi antar lembaga dalam memastikan keberlanjutan ekosistem di Indonesia. Hal ini menjadi relevan mengingat penurunan biodiversitas yang signifikan secara global, seperti yang dilaporkan dalam Living Planet Index 2024, yang mencatat penurunan biodiversitas global hingga 73 persen, termasuk kawasan Asia Pasifik yang mencapai 60 persen.

Sambutan kedua sekaligus pembukaan oleh Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., Selaku Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI). Ketua KOBI mengawali sambutannya dengan menceritakan sejarah terbentuknya KOBI dan kemudian lahirnya IBI dengan tujuan sebagai alat ukur untuk menggambarkan status keanekaragaman hayati sesuai dengan target pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc. juga menyampaikan pesannya kepada pemerintah untuk waspada terhadap kerusakan keanekaragaman hayati di wilayah tropis Indonesia. Harapannya, kegiatan ini juga bisa memberikan solusi dan rekomendasi kepada pemerintah dengan jalan terbaik tanpa merusak ekosistem.

Usai sambutan, acara dilanjutkan dengan pemaparan expert dan diskusi yang dimoderatori oleh Akbar Reza, M.Sc. Pemaparan expert pertama oleh Prof. Dr. Ir. H. Hadi Sukadi Alikodra, MS. Beliau menyoroti kondisi dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan biodiversitas yang luar biasa, Indonesia menghadapi ancaman serius dari tiga krisis planet utama: pemanasan global, hilangnya biodiversitas, dan polusi. Beliau menekankan bahwa diperlukan pendekatan yang terintegrasi untuk melindungi ekosistem, jenis, dan genetik yang menjadi fondasi keanekaragaman hayati Indonesia.

Dalam konteks tersebut, Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) menjadi alat strategis yang sangat penting. IBI dirancang untuk menggambarkan status keanekaragaman hayati secara terukur dan menjadi panduan bagi pencapaian tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Goal 14 (melestarikan sumber daya laut) dan Goal 15 (melindungi ekosistem darat). Prof. Alikodra menjelaskan bahwa IBI juga mendukung implementasi Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025-2045, sebuah strategi nasional untuk keberlanjutan biodiversitas.

Beliau juga menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi modern seperti eDNA, bioakustik, dan drone-based monitoring untuk meningkatkan akurasi dalam pemantauan biodiversitas. Teknologi ini memungkinkan pengumpulan data yang lebih efektif, khususnya di ekosistem lokal seperti gambut, hutan tropis, dan kawasan maritim. Namun, tantangan tetap ada, seperti keterbatasan infrastruktur dan pendanaan, yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk diatasi.

Sebagai pendekatan etis, Prof. Alikodra memperkenalkan konsep deep ecology dan ecosophy (ekosentrisme) sebagai landasan moral dalam konservasi. Menurutnya, pelestarian keanekaragaman hayati bukan hanya tentang tindakan teknis, tetapi juga tentang membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Pendekatan ini mendorong setiap individu dan lembaga untuk mengambil aksi nyata demi keberlanjutan lingkungan.

Beliau menutup pemaparannya dengan menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor berbasis Penta Helix (akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan media). Kolaborasi ini diharapkan dapat membangun kapasitas kelembagaan yang kokoh dalam pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. “Indeks Biodiversitas Indonesia adalah langkah strategis untuk mengukur dan memonitor kondisi keanekaragaman hayati kita. Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang langkah nyata dalam melindungi warisan hayati Indonesia, tutup Prof. Alikodra.

Dalam sesi Pemaparan expert kedua, Prof. Ign. Pramana Yuda membahas tentang metodologi terkini dalam pemantauan keanekaragaman hayati di Indonesia. Beliau menyoroti pentingnya inovasi teknologi, seperti penggunaan eDNA, bioakustik, drone-based monitoring, dan machine learning, sebagai alat yang mampu meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam mendeteksi spesies, khususnya spesies yang sulit ditemukan di habitat tersembunyi. Teknologi ini telah menjadi revolusi dalam pengumpulan data, memungkinkan para peneliti untuk memahami ekosistem secara lebih menyeluruh dan berbasis data ilmiah. 

Prof. Yuda juga menjelaskan bahwa adaptasi metode sangat penting untuk disesuaikan dengan kondisi unik ekosistem Indonesia, seperti hutan tropis, ekosistem gambut, dan kawasan maritim. Namun, beliau mengakui tantangan besar yang dihadapi, seperti biaya teknologi yang tinggi, keterbatasan fasilitas, serta kebutuhan akan database referensi yang lebih komprehensif untuk analisis molekuler dan suara. Selain itu, beliau menekankan perlunya standardisasi metode pengambilan sampel, analisis data, dan peningkatan keahlian bioinformatika untuk mendukung penelitian yang lebih efektif.

Salah satu teknologi yang diulas secara mendalam adalah eDNA (environmental DNA), yang memungkinkan deteksi spesies tanpa perlu intervensi langsung terhadap organisme. Teknologi ini menjadi alat non-invasif yang sangat sensitif dan efisien, yang dapat digunakan untuk memantau keberadaan spesies secara cepat dan serentak. Selain itu, pendekatan bioakustik dan drone juga membuka peluang besar dalam memantau populasi satwa liar, mengidentifikasi habitat kritis, serta memantau perubahan tutupan lahan akibat aktivitas manusia. 

Prof. Yuda menggarisbawahi bahwa riset dan pemantauan adalah fondasi utama untuk konservasi yang efektif. Ketersediaan data yang akurat menjadi kunci untuk mengidentifikasi ancaman terhadap biodiversitas, mengevaluasi efektivitas upaya konservasi, dan mendukung pengambilan keputusan yang berbasis bukti. Beliau juga mengajak kolaborasi lintas sektor serta pengembangan program citizen science untuk memperluas cakupan dan aksesibilitas teknologi pemantauan biodiversitas di Indonesia. 

Pemaparan expert ketiga, Dr. Nurhadi Susanto memaparkan pentingnya manajemen kelembagaan independen untuk mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa kelembagaan independen harus memiliki visi dan misi yang jelas serta beroperasi secara mandiri, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, dan sosial. Lembaga semacam ini bertanggung jawab langsung kepada publik, menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas, serta menjadi pilar penting dalam mendukung keberlanjutan dan kepercayaan masyarakat. 

Dr. Nurhadi menekankan bahwa tata kelola yang baik menjadi prinsip dasar dalam pengelolaan lembaga independen. Tata kelola ini mencakup transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan penerapan etika yang kuat dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu, beliau juga menyampaikan pentingnya keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan untuk memastikan lembaga dapat responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Beliau juga memaparkan struktur organisasi lembaga independen yang ideal, yang terdiri dari dewan pembina atau pengawas, direktur eksekutif, dan tim departemen dengan tugas spesifik sesuai bidang keahlian. Dalam hal pengambilan keputusan, lembaga independen harus berbasis pada data yang valid, melalui proses identifikasi masalah, pembahasan, implementasi, hingga evaluasi secara berkala. 

Dr. Nurhadi menyoroti bahwa keberlanjutan lembaga sangat bergantung pada efisiensi pengelolaan sumber daya, termasuk keuangan, sumber daya manusia, dan aset. Strategi pengelolaan yang transparan dan pengembangan budaya organisasi yang sehat, seperti komunikasi terbuka, pembelajaran berkelanjutan, serta pengakuan terhadap kontribusi individu, menjadi elemen penting dalam menjaga kredibilitas dan produktivitas lembaga. 

Sebagai penutup, Dr. Nurhadi menggarisbawahi bahwa keberhasilan lembaga independen tidak hanya diukur dari kinerjanya, tetapi juga dari dampak positifnya terhadap masyarakat dan lingkungan. “Lembaga independen seperti Indeks Biodiversitas Indonesia harus menjadi model tata kelola yang transparan, inovatif, dan kolaboratif untuk menjawab tantangan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia,” ujarnya.

Diskusi pada hari pertama yang dilanjutkan pada hari kedua menghasilkan rencana kelembagaan IBI. Rencana tersebut antara lain berupa model kelembagaan IBI seperti nama dan kedudukan, tujuan organisasi, strategi dan pembentukan dewan pembina, dewan pengawas, dan dewan pengurus. Harapannya, rencana tersebut akan segera terwujud guna merealisasikan Lembaga yang bermanfaat untuk membantu kelestarian biodiversitas di Indonesia.